Mas Petruk dan Tekek
Posted by Mas Petruk on 8:52 AM with No comments
Seperti biasa sehabis kembul bujana andrawina dengan Yayi Rukmini dan Denmas Rakai, Mas
Petruk lalu leyeh-leyeh di halaman depan padhepokan. Di bawah pohon sawo kecik yang
biasa, lincak bambu butut adalah singgasana peristirahatan siang Mas Petruk.
Lincak yang bagian-bagiannya banyak lapuk dimakan kumbang bubuk tapi jauh lebih
ngangeni dibanding kursi empuknya
Adipati Salya.
Siang ini angin begitu semilir. Mata Mas
Petruk serasa berat digandhuli ceker bacem nyamleng
masakan Yayi Rukmini tadi pagi. Kepalanya semakin susah ditegakkan. Lagu campursari
yang dinyanyikan Denmas Rakai serasa mengayun Mas Petruk ke dalam buaian.
Baru saja mak ler, mendadak mak jenggirat Mas Petruk terbangun kaget. Apa pasalnya? Jebul, seekor tokek raseksa yang tampangnya cuma sedikit lebih nggantheng dari Raden Dasamuka tiba-tiba memekik dengan suaranya
yang paling serak, Teeekkkeeeekkk.... Teeekkeeeekkk...
Tteeee...tteeett...ttteeeekeeekkkk..
"Trembelane!!!
Tekek murang tata!!! Kere munggah bale, wong elek nyolok mata!!! Kakekane tenan
ogh kowe ki Kek, jian ora menak-menakke wong lagi arep ngeluk boyok..."
Seketika dari mulut mecucu Mas Petruk ber-holopis
kuntul baris serentetan kata makian. Mendengar itu, Denmas Rakai pun
seketika cep klakep. Lagu campursari Kutut
Manggung yang sedari tadi didendangkan tak lagi terdengar. Yayi Rukmini yang
sudah mahfum dengan kebiasaan Mas Petruk hanya tersenyum simpul saja. Mas
Petruk memang paling anti kalau tidur siangnya terganggu.
***
Setelah membombardir Si Tekek dengan omelan
panjang lebar dan sejurus Si Tekek pun juga terdiam, Mas Petruk yang sudah
terlanjur emosi berat nampak kesulitan mengundang ngantuknya datang lagi.
Kocap
kacarita angin sejuk yang tadi bertiup semilir serta
merta ikut terdiam dengan irama Kutut Manggung yang hilang dari pendengaran Mas
Petruk. Dunia jadi tintrim. Denmas Rakai tampaknya sadar bapaknya sedang duka yayah sinipi jaja bang mangiwa-ngiwa.
Seketika mendengar bapaknya menghamburkan sumpah serapah, radio transistor tua miliknya
segera sinigeg. Burung emprit pun
seketika sigeg. Semua tenggelam dalam
kediaman yang tintrim.
Suasana makin membuat Mas Petruk esmosi. Singgasana lincak bambu butut
tak lagi nyaman. Panas, gerah, dan selalu kemriyek
setiap Mas Petruk mengubah posisi tidurnya. Saranduning
badan serasa ikut berulah. Pegal karena bolak-balik mingsreg minger ke kanan dan ke kiri, Mas Petruk pun terduduk.
Rasanya lama benar sejak kantuk itu datang.
Tapi hari tidak juga beranjak sore. Matahari masih terik membakar. Cuma kepulan
fatamorgana bercampur debu tampak di halaman padhepokan. Tidak tahan dengan
suasana yang tintrim dan kaku, dengan lesu Mas Petruk bertanya, "Duh Yayi Rukmini geganthilan atine pun
kakang, jam berapa ya sekarang?"
Sekejap tidak ada jawaban. Mas Petruk sajak mulai angot lagi. "Yayi
Rukmini...ohh Yayi Rukmini, sekarang jam berapa?"
Dari senthong
samping gandhok, terdengar jawaban
dari Yayi Rukmini, "Embuh Pakne.."
"Lhadalah,
kok embuh ki piye? Di dinding dekatmu itu kan ada jam...mbok ya
tolong diliatkan sudah jam berapa
itu?"
"Lha
bukannya sudah sejak seminggu ini jam dinding kita mati kehabisan tenaga. Sliramu rak yo sudah kumintain tolong untuk segera beli
baterai, supaya kita mudah kalau mau tahu waktu. Ning setiap saat kuingatkan, kandhamu
ndak usah beli baterai, toh masih
ada tekek yang bisa kita pedomani biar tahu waktu. Sliramu sendiri yang bilang
kalau tekek itu binatang pintar. Tahu waktu. Bisa menggantikan peran segala
jenis jam di muka bumi ini. Ingat apa tidak?"
Mak
jegagik Mas Petruk tersadar. Trembelane..kojur iki. "Kena lagi aku."
Memang seminggu yang lalu jam dinding di
padhepokan mati kehabisan baterai. Dan memang benar kalau Mas Petruk sendiri
yang punya alasan seperti Yayi Rukmini bilang.
Bukan karena Mas Petruk malas beli
baterai, tapi memang bulan ini Mas Petruk tidak pegang uang sepeser pun.
Panen belum lagi mulai, sisa uang hasil nempur gabah sudah habis, sementara Si
Blorok yang selama ini dapat jejibahan
untuk menghasilkan telur demi menyambung batas limit kredit bulanan Mas Petruk
belum juga bertelur. Alhasil sisa uang yang Mas Petruk pegang habis gusis untuk nalangi kredit plecit yang
tukang tagihnya tidak pernah absen datang bersamaan dengan suaranya yang kemlonthang dan mukanya yang garang.
Menurut goteking
akathah, tekek adalah binatang yang paling paham waktu. Mitos di kampung
Mas Petruk, Si Tekek punya kehebatan untuk menyebutkan waktu dengan tepat.
Tinggal hitung saja berapa kali dia bilang
teeekkkeeekkkk, maka kita bisa tahu jam berapa saat itu. nDilalahnya, selama seminggu terakhir sebelum jam dinding Mas
Petruk mati semuanya pas. Si Tekek selalu berbunyi kurang lebih sama dengan
jumlah angka yang ditunjukkan jarum pendek jam dinding.
Kini, tinggal Mas Petruk yang tersandar
menyesal, kenapa kok tadi ketika Si
Tekek memberitahukan jam berapa siang itu tidak digubris. Mas Petruk justru
malah marah-marah tidak memperhatikan berapa kali jumlah teriakan Si Tekek.
Kalau sudah begini, baru sadar... para tekek tanpa pamrih yang selalu cerewet ngasih tahu dengan suaranya yang
cempreng itu sebenarnya adalah makluk-makluk yang baik.
Integritasnya yang tinggi dalam melaksanakan
tugasnya. Komitmen dan konsistensinya berbunyi tanpa pernah berpikir akan
penghargaan atau bayaran. Dedikasinya jelas tidak perlu diragukan lagi. Lalu
kenapa Mas Petruk mesti marah-marah
pada para tekek? Kenapa Si Tekek dia maki-maki, digoblok-goblokkan,
dibajing-bajingkan? Padahal niat Si Tekek tidak pernah buruk, lain seperti para
gedibal Kurawa yang suka menjilat pantat rajanya dengan tutur kata manis.
Memang suara tekek tidak pernah enak
didengar, cempreng, keras dan nyakitin kuping. Tapi justru dengan begitu pesan
waktu tersampaikan dengan lugas dan jelas. Bayangkan kalau tekek bersuara
layaknya Sunyahnik atau Waljinah yang pandai nembang itu, atau Nimas Raisa putri
Mataram yang suaranya mendayu-dayu lembut. Bisa jadi Mas Petruk tidak lagi
pernah tahu waktu. Bisa jadi Mas Petruk justru nglempus tidurnya mendengkur. Atau bisa-bisa lebih parah, bukannya
mendengarkan berapa jumlah ulangan teriakan Si Tekek tapi malah ngiler melihat
kecantikan dan kemolekan tubuh Nimas Raisa, eh Nimas Tekek.
Tiba-tiba,
Tekkeeeekkk...Teeekkkeeekkk...Teeekkkeeekk...Teeekkkkkketeetteekkkkeekkkk, empat
kali didengarnya Si Tekek menghimbau. Mak
ceeesssss rasa hati Mas Petruk. Tidak jadi marah-marah, justru mata Mas
Petruk berkaca-kaca penuh keharuan dan rasa penghargaan, ternyata Si Tekek
tetap konsisten menjalankan tugasnya. Maturnuwun
Tekek, dirimu masih konsisten untuk mengingatkan jam berapa sekarang ini.
Klunuh-klunuh
Mas Petruk menyeret diri ke pakiwan, sudah waktunya
membersihkan diri dan menjemput Gudel dari ladang penyenggutan. Sekali lagi,
"Maturnuwun ya Tekek!".
Hujan akhir pekan, Bumi Enggang 112014
Tulisan
yang telah 3 pasaran terhibernasi dalam kotak
0 comments:
Post a Comment